Tafakkur Sang Wayang

Wejangan menjelang imtihan (ujian)

Menghafal untuk dilupakan Setelah itu ditumpuk lagi dengan beberapa hafalan baru yang pemahamannya saja masih belum menyentuh bungkus dari ...

Kamis, 10 November 2016

Peristiwa 10 November

Peristiwa 10 November

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pertempuran Surabaya
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia
Pertempuran Surabaya
Tentara India Britania menembaki penembak runduk Indonesia di balik tank Indonesia yang terguling dalam pertempuran di Surabaya, November 1945.
Tanggal27 Oktober - 20 November1945
LokasiSurabayaJawa TimurIndonesia
HasilKota Surabaya jatuh ke tangan Inggris
Pihak yang terlibat
Komandan
Sutomo KH. Hasyim Asyari KH Wahab Chasbullah KH. MaskyurBrigjen A. W. S. Mallaby †
Mayjen Robert Mansergh
Kekuatan
20,000 tentara
100,000 sukarelawan[1]
30,000 (puncak)[1]
didukung tankpesawat tempur, dan kapal perang
Korban
6,000[2] - 16,000[1] tewas600[3] - 2,000[1] tewas
Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Britania Raya. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di Kota SurabayaJawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.[2]

Kronologi penyebab peristiwa[sunting | sunting sumber]

Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia[sunting | sunting sumber]

Tanggal 1 Maret 1942tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat tersebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia[sunting | sunting sumber]

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut,Soekarno kemudian memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Kedatangan Tentara Inggris & Belanda[sunting | sunting sumber]

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas namaBlok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia BelandaNICA(Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya[sunting | sunting sumber]


Hotel Oranye di Surabaya tahun 1911.
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.

Pengibaran bendera Indonesia setelah bendera belanda berhasil disobek warna birunya di hotel Yamato
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang benderakembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Kematian Brigadir Jenderal Mallaby[sunting | sunting sumber]

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak[sunting | sunting sumber]


Mobil Buick Brigadir Jenderal Mallaby yang meledak di dekat Gedung Internatio dan Jembatan MerahSurabaya
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan diParlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:
"... Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby). Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik... karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan ..."[4]

10 November 1945[sunting | sunting sumber]

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.

Mereka mengebom kantor-kantor pemerintahan, gedung-gedung sekolah. Bila tahun 1940 Inggris dibombardir Jerman, maka Inggris mengulangi kejahatan Jerman dengan memborbardir kota Surabaya, banyak orang tertembak mati kena runtuh gedung, dan orang yang tertembak mitraliyur pesawat, Inggris seperti pasukan gila yang mengamuk habis-habisan. Tapi Inggris belum kenal watak orang Surabaya yang panas. Pasukan rakyat kemudian mengambil beberapa mitralyur anti pesawat buatan Jepang dan menembaki skuadron pasukan RAF. Dua pesawat kena tembak salah satunya adalah seorang jenderal yang bernama Brigjen Robert Guy Loder Symonds seorang komandan pasukan Artileri yang sedang melakukan survey udara. Jenderal ini kemudian dibawa ke Jakarta dan dimakamkan di Kramat Pulo, Menteng. Pertempuran makin meluas, sampai ke Kali Mas. Di pinggir Kali Mas pasukan sekutu langsung menggempur pasukan rakyat. Jam 12 siang hari pertama, pasukan infanteri mulai mendarat sekitar 20.000 orang, inilah pasukan terbesar Inggris setelah perang dunia selesai, dan merupakan perang paling brutal sepanjang sejarah pertempuran pasukan Inggris. Dari Radio hampir seluruh rakyat Indonesia menunggu laporan-laporan dari perkembangan perang, mereka menunggu pidato Bung Tomo. Semua mendekatkan telinga mereka di radio. Pada hari itu juga banyak dari orang-orang Indonesia di tempat lainnya menyiapkan diri untuk perang ke Surabaya. Sekitar 20.000 orang Bali sudah siap masuk ke Surabaya, beberapa bisa menyusup dan langsung menggempur sekutu. Dari Aceh sudah disiapkan ribuan orang pengiriman, di Medan ribuan orang berkumpul untuk bersiap diberangkatkan ke Surabaya, di Lombok Mataram di depan para Ulama, rakyat Lombok siap mati dan akan berangkat ke Surabaya. Di Yogyakarta sudah mulai ada pengiriman pasukan, Malang sudah kirim pasukan sementara Djakarta masih menunggu perkembangan, penggede-penggede Djakarta masih berharap perang bisa diselesaikan dengan cepat. Di wilayah lain di luar Surabaya, Jenderal Sudirman dan para staf-nya memutuskan untuk memotong rantai logistik sekutu. Jadi 20 ribu pasukan infanteri bakalan terlokalisir dan digebuki rakyat Surabaya. Taktik ini berhasil, laskar-laskar rakyat di Jawa Barat menghadang pasukan logistik sekutu yang mau masuk dari arah barat, di Malang gudang logistik pasukan sekutu dihancurkan, otomatis selama 5 hari pasukan sekutu terkunci dari semua pintu masuk kota, sementara ribuan orang Indonesia terus mengalir memasuki kota dengan senjata apa adanya berperang melawan sekutu.
Pasukan sekutu mulai stress, karena logistik tidak ada, bantuan tempur logistik yang diterjunkan dari pesawat kemakan orang-orang Republik, bahkan nyaris tidak ada logistik yang berhasil didapatkan pasukan Inggris. Mereka sudah terkunci dan terkepung oleh seluruh orang Indonesia yang mengitari mereka, keberadaan pasukan Inggris dari Brigade 49 tinggal menghitung waktu. Tempat-tempat dimana pos pasukan Inggris berada di blokade total, tak ada listrik, tak ada makanan, mereka harus berjaga 24 jam agar jangan sampai ditembaki Republik yang terus menerus nggan berhenti. Di hari kelima pertempuran mulai jarang tembakan dari pasukan sekutu, pasukan Inggris mulai kehabisan amunisi, beberapa orang Surabaya nekat masuk ke pos-pos Inggris dan meledakkan granat, inilah yang mereka takutkan. Dalam kondisi rusak mental inilah, pasukan Brigade 49 mulai teriak-teriak ke markas mereka di Djakarta bahwa mereka sudah terdesak. Rahasia kekalahan Inggris ini disimpan rapi-rapi, jangan sampai Penggede Republik Indonesia tahu, mereka berlagak ja’im dan masih mencitrakan diri sebagai pemenang perang di Surabaya. Begitu juga dengan pemimpin di Jakarta yang tidak begitu mengetahui perkembangan perang di Surabaya, mereka sudah ‘underestimate’ bahwa perang akan dimenangkan oleh Inggris. Di Singapura para panglima Inggris berkumpul. “Kita sudah kalah di Surabaya” kata seorang Panglima. “Pasukan kita sudah kelaparan, tidak ada lagi pasokan”, memang saat itu pasukan sekutu sudah amat kelaparan. Mereka tidak dapat pasokan logistik, sementara para pejuang Republik dapat pasokan terus menerus nasi bungkus, pisang, dan banyak bahan makanan dari rakyat yang sukarela membuatkan masakan di dapur umum. Bahkan beberapa pasukan Inggris seperti anjing kelaparan saat melihat sisa nasi bungkus bahkan yang udah basi, mereka ambil dan makan. “Keadaan ini harus dirahasiakan”. Bagaimanapun pasukan Brigade 49 dari Divisi V adalah pasukan kebanggaan Inggris, mereka dijuluki “Fighting Cock” pada Perang Burma 1944, merekalah yang merebut satu persatu wilayah Burma dengan sistem gerilya hutan, kini Brigade itu perlahan-lahan mati kelaparan, digebukin dan ditembakin. Lalu para Panglima itu mengutus Admiral Heifrich menemui Presiden Sukarno. Heifrich mengakui sendiri dalam buku biografinya, ‘Keputusan untuk menghentikan perang, satu-satunya hanya pada Presiden Sukarno”, apa yang dilakukan Heifrich ini bila diperhatikan sangat aneh untuk watak Inggris yang amat ksatria. Karena saat ultimatum, Inggris sempat menganggap Pemerintahan Republik Indonesia tidak ada, lantas setelah pasukan Brigade 49 sudah kalah dan terjepit ia merengek minta tolong pada Sukarno. Disinilah kesalahan Sukarno paling fatal, ia masih termakan halusinasi bahwa sekutu adalah pihak yang menang perang dan merupakan alat yang baik untuk berdiplomasi dengan Belanda. Sukarno nggak paham kekuatan bangsa sendiri, ia tidak langsung melihat pertempuran, jalan diplomatiknya yang dipilih merupakan blunder besar dalam perang Kemerdekaan 1945-1949. Perang Surabaya yang berlangsung selama tiga minggu, di minggu pertama dimenangkan oleh pihak Republikein, tapi karena keputusan Sukarno yang memerintahkan penghentian perang, sehingga Jenderal Sudirman membuka blokade lalu pasukan Divisi V yang awalnya sudah diputuskan tidak akan masuk Surabaya karena takut dihabisi, jadi masuk. Logistik yang tadinya terputus mengalir kembali. Dan kemudian Inggris mampu menghajar pasukan Republik. Lalu nggak berapa lama Inggris menguasai kota Surabaya, karena sudah dapat suplai logistik dari Jakarta. Apakah yang terjadi bila Sukarno tahu kebohongan Inggris, mulai dari Nota Chequers 24 Agustus 1945 sampai pada rahasia pasukan Brigade 49 yang kocar-kacir. Sukarno saat itu berada pada persimpangan politik yang amat tragis. Di satu sisi hanya dia-lah yang dipercaya rakyatnya, di sisi lain dia tidak mau perang dengan sekutu, karena nama Sukarno sudah tercatat sebagai kolaborator. Bila Sukarno diambil pihak sekutu, Sukarno kuatir Indonesia akan kehilangan pemimpin. Kesalahan besar Sukarno yang menghentikan perang ini juga sama fatalnya dengan perintah Sukarno agar melarang pasukan KKO pimpinan Mayjen Hartono masuk ke Djakarta di tahun 1966 untuk memberikan pelajaran bagi Suharto. Sukarno memang pribadi yang menarik tapi ketika ia harus masuk ke dalam situasi perang nampaknya ia lebih memilih menghindar. Padahal perang Surabaya adalah sebuah drama besar yang bisa dijadikan landasan untuk merdeka sepenuhnya, Perang Surabaya juga dikabarkan lewat radio-radio dan didengarkan oleh para pejuang di banyak negara terjajah seperti Vietnam dan Burma, dari perang inilah kemudian membangkitkan semangat mereka melawan Kolonialisme. Pelajaran dari sejarah ini adalah ketika kita sudah pada situasi perang, janganlah kita hentikan dengan diplomasi, janganlah kita memberikan tempat pada lawan. Kita harus percaya atas kemampuan diri sendiri. Di Surabaya 1945 menjadi pengetahuan bagi kita bahwa kita bangsa berani dan Berdaulat.





Bung Tomo di Surabaya, salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati. Foto terkenal ini bagi banyak orang yang terlibat dalamRevolusi Nasional Indonesia mewakili jiwa perjuangan revolusi utama Indonesia saat itu.[5]
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ariKH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya.[2] Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara.[3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan olehRepublik Indonesia hingga sekarang.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d The Battle of SurabayaIndonesian Heritage.
  2. ^ a b c Ricklefs, Merle Calvin (1993). A History of Modern Indonesia Since c. 1300 (Second ed.). MacMillan. ISBN 978-0-333-57689-2.
  3. ^ a b Woodburn Kirby, S (1965). The War Against Japan Vol. V. London: HMSO. ISBN 0-333-57689-6.
  4. ^ Batara R. Hutagalung: "10 November '45. Mengapa Inggris Membom Surabaya?" Penerbit Millenium, Jakarta Oktober 2001, cetakan xvi, 472 halaman
  5. ^ Frederick, William H. (April 1982). "In Memoriam: Sutomo" ([nonaktif])Indonesia (Cornell University outheast Asia Program) 33: 127–128. seap.indo/1107016901.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Tidak ada komentar: